Enditop

Jumat, 31 Agustus 2012

Tiga Foto yang Dibawa Pulang


Setelah hampir dua bulan melewati masa amazingly-study-tour di ibu kota kemarin, akhirnya saya mendapatkan beberapa foto yang sempat saya ambil dengan kameranya Ame, terima kasih, Ame!
Berikut cuplikannya! (hasik..)


"I Love JKT"
Diambil dari mobilnya Acos (terima kasih, Acos!) ketika kami diajak Bang Gegen ke kota tua, dengan kecepatan mobil yang biasa saja, saya dapatlah foto ini. Mungkin nanti 2000 tahun lagi, bangunan megah ini cuma jadi kawasan kumuh, atau sebaliknya bakal dianggap sebagai tempat bersejarah, sebuah istana, atau candi di peradaban yang lalu, mungkin. 



"Sunset Light"
Diambil juga dari mobilnya Acos, dan masih pakai kameranya Ame (terima kasih, Acos dan Ame) dan masih dalam perjalanan ke kota tua. Kalau kalian tanya makna foto ini apa, sebenarnya saya juga tidak tahu, yang saya tahu saya cuma suka foto ini. Udah gitu aja.





"Cahaya Kota Tua" (Alamak.. judulnya)

Akhirnya kami sampai di kota tua, berbekal kamera nikon Ame yang hampir lowbat, saya jeprat-jepret sana-sini, tau-taunya dari belasan foto cuma ini yang fokus, karena kita sampainya agak petang, pencahayaannya jadi kurang, dan gak ada tripod dan blablabla alasan teknis lainnya, intinya cuma inilah yang menurut saya bagus. Menurut saya loh, yah!

Sayang sekali hampir satu bulan saya di sana, tapi sedikit sekali hasil foto yang saya dapat, foto narsis pun gak ada kayaknya, kamera pocket yang saya bawa juga kembali dengan memori kosong. Kebanyakan saya nikmati cuma dengan mata, mungkin terlalu terpukau makanya tangan saya malas ambil kamera. Tapi bagusnya, saya punya alasan dan gambaran untuk kembali ke kota itu untuk jeprat-jepret lagi. Di samping segala kekurangannya, Jakarta memang punya aura sendiri yang bikin kangen, apalagi setelah apa yang saya lewati bersama teman-teman :)






Kamis, 30 Agustus 2012

Saya minta mimpi, yang banyak!

Apa ada yang lebih menakutkan dari ditinggal mimpi?

Lima bulan ini saya sering takut untuk bermimpi tentang masa depan, hal yang aneh, padahal sebelum-sebelumnya saya bisa bermimpi bagaimana masa depan saya bahkan dua jam sebelum saya tidur.

Mimpi saya tentang masa depan tidak pernah terlalu tinggi (menurut saya), saya tidak bermimpi jadi Presiden, Sekjen PBB, peraih nobel perdamaian atau sebagainya. Mimpi saya cukup sederhana, sangat sederhana sampai buat saya bosan dan terlalu percaya diri untuk pergi meninggalkan mimpi, untuk bangun karena merasa kenyataan mungkin akan lebih asik, lebih gaul dari mimpi, begitulah.

Dan sekarang, ketika saya masuk di "pergaulan" kenyataan, ternyata tidak begitu mengasyikan daripada mimpi, atau mungkin saya yang tidak pandai bergaul. 

Tapi, kepada dewa-dewi mimpi, boleh saya minta mimpi saya kembali? Saya tidak suka bergaul di kenyataan.

Rabu, 04 April 2012

Review : The Ides Of March


Bukan rahasia lagi kalau dunia politik memiliki banyak intrik, saya rasa inilah yang ingin ditunjukkan dalam film The Ides of March ini. Persaingan politik dalam mengejar kekuasaan digambarkan melalui “head-to-head” antara Mike Morris (George Clooney) dan Ted Pullman (Michael Mantell) dalam menuju kursi presiden Amerika Serikat, dibantu dengan tim kampanye masing-masing, strategi kampanyepun digambarkan dengan jelas di film ini.
Menurut saya bintang dari film ini bukan lagi  George Clooney, tetapi Ryan Gosling yang berperan sebagai Stephen Mayers, orang dibalik tim kampanye Morris. Dibantu manager senior Paul Zara (Phillip Hoffman), Stephen muncul sebagai “bintang baru” sekaligus “santapan” bagi pemain-pemain lama dalam bidang ini. Bintang baru karena kejeniusannya dan santapan bagi kepolosannya. Stephen yang idealis masih berusaha menanamkan “mindset” bahwa Mike Morris adalah orang yang tepat bagi posisi ini, atau setidaknya bersih dibanding politisi lainnya. Sayang sekali, kepolosan Stephen juga dimanfaatkan dengan baik oleh  tim kampanye Pullman, yang dimanageri oleh Tom Duffy (Paul Giamatti). Bukan hanya saling-sikut antara tim kampanye, Stephen juga harus menghadapi kenyataan bahwa calonnya ternyata juga memiliki “noda”, jadi akankah Stepehen tetap bertahan pada idealismenya atau turut bermain dalam game politik ini? Itulah yang menjadi cerita dalam film ini.
Walaupun menbahas tentang dunia politik, film ini juga “menyempilkan” sedikit romansa, hanya sedikit tetapi menjadi point penting dalam cerita. Kehadiran Molly Stearns (Rachel Wood) di tengah-tengah cerita yang pertama saya tebak hanya menjadi pemanis ternyata salah, Molly pegawai magang di tim kampanye Morris ini ternyata menjadi sosok penting dalam pandangan politik Stephen bahkan dapat mengubah pergerakan kampanye politik Morris.
Keseluruhan film ini bagi saya cukup menarik, walaupun pertama kali mengetahui bahwa film ini membahas tentang dunia politik, otak saya yang dipenuhi komedi-romantis agak menolak, tetapi nyatanya film yang disutradarai oleh George Clooney ini dapat juga saya selesaikan dengan tenang. Sejujurnya saya juga tidak terlalu mengerti tentang teknis pengambilan gambar atau skenario, tetapi di film ini, entah pengambilan gambarnya atau skenarionya atau akting para pemainnya membuat film ini tidak “seberat” tema yang ingin diangkat.

Selasa, 27 Maret 2012

Pura-pura Tuli

Semua orang mungkin pernah berdiri di masa seperti ini, warna bukan cuma hitam dan putih, bahkan lebih mengerikan daripada abu-abu.


Semua orang mungkin pernah berjalan di waktu seperti ini, tidak ada yang lambat atau cepat, bahkan sudah tidak lagi terasa.

Yah, terserah sih semua orang pernah merasakan ini atau tidak, yang jelas saat ini saya berdiri di tempat tanpa warna, menunggu pelangi datang. Saya masih menunggu di persimpangan jalan, semoga nanti ada jalan yang ke-lima.

Semua orang mungkin pernah mendengar ini, kenapa hanya menunggu pelangi, kenapa hanya menunggu jalan ke-lima. Kenapa, kenapa, kenapa, kenapa lagi, lagi dan lagi. Sampai akhirnya saya bosan dan merasa lebih baik menutup telinga. Tolong jangan tanya kenapa lagi, apalagi bertanya apa maksud tulisan ini.

Halo Akhir!

Mungkin kita pernah bertemu sebelumnya. Mungkin juga kamu pernah berkunjung dengan sosok mengerikanmu. Atau mungkin kita pernah dikenalkan dengan penuh senyum.


Saya tidak terlalu ingat dengan masa itu, pura-pura lupa jika itu menyeramkan, jual mahal jika itu menyejukkan.

Entah mengapa saya hanya ingin menyapamu dengan ini, mungkin memulai pertemanan karena bagaimanapun pasti nanti kita bertemu, siapa yang tahu kalau ternyata nanti kita berteman.

Saya lagi ingin menyapamu, seperti para kapten pemain bola yang bersalaman, tukar bendera dan foto bersama dengan penuh senyum sebelum saling membunuh.

Karena saya sudah memulai perkenalan ini, bagaimana kalau sekarang giliranmu, ayo kenalkan dirimu, supaya gampang bagi saya memilih untuk menyapamu dengan senyum atau seringai.

Minggu, 26 Februari 2012

Setelah 7 Wanita Menamparku, a novel by anak S-E-N

Saat  ini saya hanya ingin bercerita tentang pertemuan tiga kali saya dengan Desta Aletea Sabarno.
Sudah tiga kali ini saya bertemu dengan Desta Aletea Sabarno, anak Pak Sabarno si tukang Pos, sulung dari sepuluh adik-adiknya, anak perempuan dari ibu yang buta huruf. Dua pertemuan saya sebelumnya di Istana Negara Selalu Menghadap ke Timur dan Genogram membuat saya jatuh terpesona sama sosok Desta ini (karena dia dan saya sama-sama perempuan, maka lebih baik jatuh terpesona daripada jatuh cinta). Di dua pertemuan saya dengan Desta sebelumnya, dia cuma mengisahkan tentang bagaimana kehidupannya ketika menjadi penasehat kepresidenan dan kehidupannya setelah menjadi mantan penasehat kepresidenan, dia belum pernah bercerita tentang bagaimana awalnya dan awalnya dan awalnya dan awalnya lagi sampai dia bisa menjadi sosok penting dalam lingkar penasehat kepresidenan.

Akhirnya, setelah dua pertemuan itu, Desta berbaik hati untuk menceritakan awal kisah perubahan hidupnya di buku “Setelah 7 Wanita Menamparku” ini.  Untuk yang belum pernah bertemu dengan Desta sebelumnya, sebaiknya memang memulai pertemuan dengan membaca buku ini, jangan langsung loncat-loncat seperti saya :p

Berbeda dengan Istana Negara Selalu Menghadap ke Timur dan Genogram yang menceritakan tentang bagaimana cara Desta menghadapi “musuh-musuhnya yang nyata”, buat saya kali ini Desta lebih banyak bercerita tentang bagaimana cara dia menghadapi perang batin di dirinya, umur yang memasuki 27 tahun, pengangguran, dengan sepuluh adik yang ajaib, membuat konfliknya hanya berada pada diri Desta, dan beberapa kisah penghibur tentang bagaimana Desta menghadapi masalah-masalahnya, mulai dari kasus sayembara sampai bunuh diri, semua dihadapi dengan cara yang “Desta” sekali. Mau tahu apa itu cara yang “Desta” sekali? Sepertinya kalian memang harus bertemu dengan Desta dulu, biar dia yang menceritakan bagaimana itu cara “Desta” sekali.

Di pertemua ketiga saya dengan Desta ini saya masih terkagum dengan bagaimana anak S-E-N membuat kegiatan baca-membaca saya terhenti-henti hanya untuk mencatat hal-hal yang saya rasa penting dari tulisan mereka/dia. “Setelah 7 Wanita Menamparku” buku dengan judul yang aneh, tapi kalau yang ada di pikiran Anda adalah 7 wanita yang saling tampar-tamparan, berarti Anda hampir benar dan hampir salah, buku ini memang menampar, tapi tidak dengan wanita apalagi sampai tujuh, buku ini cuma menampar dengan kata. *tsah* dan terlepas dari judulnya itu, buku ini adalah salah satu seri buku yang wajib untuk dibaca, oh iya, urutannya ada pada “Setelah 7 Wanita Menamparku”, lalu “Istana Negara Selalu Menghadap ke Timur” dan kalian bisa akhiri dengan “Genogram”. Sekian dulu yah, Salam!

Test Pack oleh Ninit Yunita


Halo!
Sebelumnya, sebagai pembuka, saya ingin menjelaskan atau melaporkan tentang keadaan klub baca-membaca saat ini, saat ini kami sudah berjumlah enam orang (termasuk saya), yang berarti itu bakal kelewat banyak kalau mau ditraktir goceng, yang berarti saya tidak boleh kalah, maka dari itu saya menulis review ini pagi-pagi dengan semangat anti-kekalahan! Hosh! 


Kakang dan Neng sudah lama menantikan kehadiran anak dalam keluarga kecil mereka. Tujuh tahun menikah dan belum juga ditemani kehadiran anak membuat Neng sedikit agak frustasi, tapi belum sampai gila sih. novel 196 halaman ini bercerita tentang situasi, gonjang-ganjing, naik-turun, kesana-kemarinya kehidupan rumah tangga Kakang dan Neng dalam menghadapi keinginan punya anak, komitmen tanpa anak, dan kadang posisi-posisi membuat anak, diceritakan dengan lucu membuat novel ini ringan padahal konflik yang dibahas berat. Diceritakan dengan point of view Kakang dan Neng, membuat kita tahu bagaimana cintanya Kakang ke Neng, dan bagaimana maunya Neng punya anak dari Kakang, dan buat saya novel ini SANGAT romantis, tetapi jangan mengharapkan akan ada sujud-sujudan dengan cincin di tangan dan lilin di atas meja lalu kemudian kembang api menyala-nyala, pasangan ini menunjukkan cara romantis yang sederhana, romantis dengan tetap bertahan pada komitmen mau badai atau badak yang menyerang.


Sekian review atau komentar singkat yang saya tulis untuk buku pertama dan review ke dua dalam bulan ini, semoga kalian para peserta klub ataupun biro pengembangan baca-membaca ini KALAH! Mwahahaha.. lumayan kalau dapat “goceng” lima!

Tentang Rekrutmen Telkom Indonesia - 2015

Udah lama..lama…lamaaaa banget ya gak nulis di sini, jadi maafkan jika tulisan ini agak kaku. Setelah entah kapan terakhir menulis di blog ...