Enditop

Jumat, 22 November 2013

Indah pada waktunya?

Katamu, waktu yang akan menjawab.
Sekalipun aku tak pernah bertanya.
Jika tak pernah ada pertanyaan, maka jawaban apa yang akan waktu berikan?

Harapanku, waktu yang akan memastikan.
Sekalipun kamu tak pernah menyatakan.
Jika tak pernah ada pernyataan, maka kepastian apa yang akan waktu berikan?

Seperti inilah kisah kita, tersesat di antara gengsi yang terus melahap.
Sementara waktu terus terbahak-bahak.

Minggu, 14 April 2013

Ayo bermain!

Ayo bermain! Meluncur dan tertawa!
Ayo bermain! Bersama kita bisa meluncur dan tertawa!
Ayo bermain! Kita lupakan umur dan masalah!
Ayo bermain! Karena aku tak punya masalah, umurku juga baru berapa!
Ayo bermain! Karena sakit ketika tersungkur akan hilang ketika meluncur!
Ayo tertawa!! Ayo meluncur! Ayo kita bermain!

Selasa, 12 Maret 2013

Terima kasih dari kami


Ada yang bilang sahabat adalah keluarga yang kita pilih sendiri. Terima kasih karena memberi saya kesempatan memilih mereka, Tuhan.

Terima kasih karena menempatkan kami terpisah-pisah, sehingga kami memiliki istilah bernama pertemuan.

Terima kasih karena Engkau menyiapkan kami dengan perbedaan, sehingga tercipta pengertian.

Terima kasih atas jalan yang Engkau berikan, akhirnya kami memiliki alasan untuk bergandeng tangan sampai tujuan.

Pesan Asap

Ada pesan tersirat yang teramat jelas terlihat, sekalipun mereka menolak.
Seperti menyalakan api yang akan tersampaikan oleh asap. 
Sekalipun mati, pesan itu tetap akan dianggap.

Jumat, 31 Agustus 2012

Tiga Foto yang Dibawa Pulang


Setelah hampir dua bulan melewati masa amazingly-study-tour di ibu kota kemarin, akhirnya saya mendapatkan beberapa foto yang sempat saya ambil dengan kameranya Ame, terima kasih, Ame!
Berikut cuplikannya! (hasik..)


"I Love JKT"
Diambil dari mobilnya Acos (terima kasih, Acos!) ketika kami diajak Bang Gegen ke kota tua, dengan kecepatan mobil yang biasa saja, saya dapatlah foto ini. Mungkin nanti 2000 tahun lagi, bangunan megah ini cuma jadi kawasan kumuh, atau sebaliknya bakal dianggap sebagai tempat bersejarah, sebuah istana, atau candi di peradaban yang lalu, mungkin. 



"Sunset Light"
Diambil juga dari mobilnya Acos, dan masih pakai kameranya Ame (terima kasih, Acos dan Ame) dan masih dalam perjalanan ke kota tua. Kalau kalian tanya makna foto ini apa, sebenarnya saya juga tidak tahu, yang saya tahu saya cuma suka foto ini. Udah gitu aja.





"Cahaya Kota Tua" (Alamak.. judulnya)

Akhirnya kami sampai di kota tua, berbekal kamera nikon Ame yang hampir lowbat, saya jeprat-jepret sana-sini, tau-taunya dari belasan foto cuma ini yang fokus, karena kita sampainya agak petang, pencahayaannya jadi kurang, dan gak ada tripod dan blablabla alasan teknis lainnya, intinya cuma inilah yang menurut saya bagus. Menurut saya loh, yah!

Sayang sekali hampir satu bulan saya di sana, tapi sedikit sekali hasil foto yang saya dapat, foto narsis pun gak ada kayaknya, kamera pocket yang saya bawa juga kembali dengan memori kosong. Kebanyakan saya nikmati cuma dengan mata, mungkin terlalu terpukau makanya tangan saya malas ambil kamera. Tapi bagusnya, saya punya alasan dan gambaran untuk kembali ke kota itu untuk jeprat-jepret lagi. Di samping segala kekurangannya, Jakarta memang punya aura sendiri yang bikin kangen, apalagi setelah apa yang saya lewati bersama teman-teman :)






Kamis, 30 Agustus 2012

Saya minta mimpi, yang banyak!

Apa ada yang lebih menakutkan dari ditinggal mimpi?

Lima bulan ini saya sering takut untuk bermimpi tentang masa depan, hal yang aneh, padahal sebelum-sebelumnya saya bisa bermimpi bagaimana masa depan saya bahkan dua jam sebelum saya tidur.

Mimpi saya tentang masa depan tidak pernah terlalu tinggi (menurut saya), saya tidak bermimpi jadi Presiden, Sekjen PBB, peraih nobel perdamaian atau sebagainya. Mimpi saya cukup sederhana, sangat sederhana sampai buat saya bosan dan terlalu percaya diri untuk pergi meninggalkan mimpi, untuk bangun karena merasa kenyataan mungkin akan lebih asik, lebih gaul dari mimpi, begitulah.

Dan sekarang, ketika saya masuk di "pergaulan" kenyataan, ternyata tidak begitu mengasyikan daripada mimpi, atau mungkin saya yang tidak pandai bergaul. 

Tapi, kepada dewa-dewi mimpi, boleh saya minta mimpi saya kembali? Saya tidak suka bergaul di kenyataan.

Rabu, 04 April 2012

Review : The Ides Of March


Bukan rahasia lagi kalau dunia politik memiliki banyak intrik, saya rasa inilah yang ingin ditunjukkan dalam film The Ides of March ini. Persaingan politik dalam mengejar kekuasaan digambarkan melalui “head-to-head” antara Mike Morris (George Clooney) dan Ted Pullman (Michael Mantell) dalam menuju kursi presiden Amerika Serikat, dibantu dengan tim kampanye masing-masing, strategi kampanyepun digambarkan dengan jelas di film ini.
Menurut saya bintang dari film ini bukan lagi  George Clooney, tetapi Ryan Gosling yang berperan sebagai Stephen Mayers, orang dibalik tim kampanye Morris. Dibantu manager senior Paul Zara (Phillip Hoffman), Stephen muncul sebagai “bintang baru” sekaligus “santapan” bagi pemain-pemain lama dalam bidang ini. Bintang baru karena kejeniusannya dan santapan bagi kepolosannya. Stephen yang idealis masih berusaha menanamkan “mindset” bahwa Mike Morris adalah orang yang tepat bagi posisi ini, atau setidaknya bersih dibanding politisi lainnya. Sayang sekali, kepolosan Stephen juga dimanfaatkan dengan baik oleh  tim kampanye Pullman, yang dimanageri oleh Tom Duffy (Paul Giamatti). Bukan hanya saling-sikut antara tim kampanye, Stephen juga harus menghadapi kenyataan bahwa calonnya ternyata juga memiliki “noda”, jadi akankah Stepehen tetap bertahan pada idealismenya atau turut bermain dalam game politik ini? Itulah yang menjadi cerita dalam film ini.
Walaupun menbahas tentang dunia politik, film ini juga “menyempilkan” sedikit romansa, hanya sedikit tetapi menjadi point penting dalam cerita. Kehadiran Molly Stearns (Rachel Wood) di tengah-tengah cerita yang pertama saya tebak hanya menjadi pemanis ternyata salah, Molly pegawai magang di tim kampanye Morris ini ternyata menjadi sosok penting dalam pandangan politik Stephen bahkan dapat mengubah pergerakan kampanye politik Morris.
Keseluruhan film ini bagi saya cukup menarik, walaupun pertama kali mengetahui bahwa film ini membahas tentang dunia politik, otak saya yang dipenuhi komedi-romantis agak menolak, tetapi nyatanya film yang disutradarai oleh George Clooney ini dapat juga saya selesaikan dengan tenang. Sejujurnya saya juga tidak terlalu mengerti tentang teknis pengambilan gambar atau skenario, tetapi di film ini, entah pengambilan gambarnya atau skenarionya atau akting para pemainnya membuat film ini tidak “seberat” tema yang ingin diangkat.

Tentang Rekrutmen Telkom Indonesia - 2015

Udah lama..lama…lamaaaa banget ya gak nulis di sini, jadi maafkan jika tulisan ini agak kaku. Setelah entah kapan terakhir menulis di blog ...