Enditop: Divortiare a novel by Ika Natassa

Selasa, 31 Mei 2011

Divortiare a novel by Ika Natassa

Hmmm... Biasanya di paragraf pertama, kedua atau bahkan sampai yang ketiga saya akan menulis tentang bagaimana cerita dari novel ini, bagaimana tokoh dan apa konfliknya, tapi untuk kali ini saya akan membiarkan pandangan saya berada pada paragraf pertama, kedua atau mungkin sampai ketiga dan selanjutnya (nah lho)
 Divortiare,sebuah novel dari Ika Natassa, yang sukses buat saya baca dari jam 8 malam sampai jam 3 subuh, tanpa berhenti, bahkan untuk pipis, makan, update status, liat timeline twitter dan sebagainya. Novel dengan dialog-dialog ringan tetapi tetap kuat dan tidak kacangan. Novel dengan penggambaran tokoh dan konflik yang kuat.
Alexandra, relationship manager, salah satu bank swasta Ibu kota, yang menikah pada usia 25 tahun dan harus bercerai pada usia 27 tahun. Alexandra dan Beno Wicaksono, bankir dan dokter, sibuk dan sibuk, lost communiction and lost communication. Sepertinya perbedaan mereka hanya pada profesi dan jenis kelamin, selebihnya mereka sama.
 –Karena kalau aku membencinya, ia tidak akan bisa menyakitiku. Kita hanya bisa disakiti oleh  orang-orang yang kita cintai, ya kan? Jadi aku memilih membencinya. Aku memilih membencinya–
       Cerita dimulai setelah dua tahun Alexandra bercerai dengan Beno, setelah dua tahun dengan masih ada tatto nama Beno di dadanya, setelah dua tahun perceraian dan Alexandra masih memakai Beno sebagai dokter pribadinya. Setelah dua tahun dan masih saja ada pertengkaran jika mereka bertemu. Dan setelah semua itu akhirnya Alexandra mencoba membuka hati untuk Denny, Denny yang selalu menyenangkan dan tidak pernah menyakitinya.
      Dan cerita terus berlanjut dengan bayang-bayang masa lalu Alexandra  dan Beno, ditengah hubungannya bersama Denny.
Dan apakah hanya sampai disitu? Oh.. tentu tidak!
Dan apakah saya akan menyuruh Anda untuk membacanya sendiri? Oh.. tentu saja!

Dan ini satu paragraf yang paling saya sukai
 – it’s funny how in Indonesia, prestasi seorang perempuan itu umumnya dinilai dari apakah ia telah menikah. Apakah ia telah menikah dengan pria yang mapan, kaya, tampan, alim, rajin menabung, suka menolong (dan segala tetek-bengek Pramuka itu. I have nothing against Pramuka, really. This is just me being satiric little self) apakah ia punya keluarga yang bahagia. Apakah ia punya anak-anak yang cakep dan pintar. Lantas, ketika pernikahan itu bubar, semua “kekerenan” jadi perempuan itu hilang. Lenyap. Yang ada cuma the blame game. Sudah jelas kan, yang jadi korban the blame game itu siapa? Di saat “duda keren” terdengar sangat cool, “janda kembang” justru terdengar amat merendahkan. –

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Rekrutmen Telkom Indonesia - 2015

Udah lama..lama…lamaaaa banget ya gak nulis di sini, jadi maafkan jika tulisan ini agak kaku. Setelah entah kapan terakhir menulis di blog ...